2018 ~ PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE - 52

24 Januari 2018

http://www.mirifica.net/2018/02/19/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-komunikasi-ke-52-2018/

“Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32)
Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian
Saudara dan Saudari yang terkasih,

KOMUNIKASI adalah bagian dari rencana Allah bagi kita dan jalan utama untuk menjalin persahabatan. Sebagai manusia kita diciptakan seturut gambar dan rupa Sang Pencipta, dan karenanya kita bisa mengungkapkan dan membagi hal-hal yang benar, baik dan indah. Kita mampu melukiskan pengalaman-pengalaman kita sendiri serta tentang dunia sekitar kita, dengan demikian menciptakan kenangan sejarah serta pengertian tentang pelbagai peristiwa. Namun apabila kita begitu saja menuruti hasrat pribadi serta kebanggaan pada diri, maka kita dapat merusak cara kita memanfaatkan kemampuan berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat sejak awal sejarah, dalam dua kisah alkitabiah tentang Kain dan Habel serta Menara Babel (bdk. Kej 4:4-16; 11:1-9). Kemampuan untuk memelintir kebenaran merupakan fenomena yang melekat pada kemanusiaan kita, baik pribadi maupun masyarakat. Sebaliknya, manakala kita setia pada rencana Allah, maka komunikasi akan menjadi sarana efektif bagi pencarian kebenaran dan kebaikan secara bertanggungjawab.

Saat ini, dalam dunia komunikasi serta sistem digital yang sedemikian cepat berubah, kita menyaksikan penyebaran dari apa yang dikenal sebagai “berita bohong” (fake news). Kenyataan ini mengundang kita berefleksi, dan itulah sebabnya saya memutuskan untuk kembali mengangkat pokok tentang kebenaran dari Pesan Hari Komunikasi Sedunia para pendahulu saya, sejak Paus Paulus VI. Pada tahun 1972 Paus Paulus VI mengkat tema: Komunikasi Sosial demi Pelayanan Kebenaran. Maksud saya adalah memberikan dukungan pada komitmen kita bersama untuk membendung penyebaran berita bohong, serta mengangkat keluhuran martabat jurnalisme dan tanggungjawab pribadi para jurnalis untuk menyampaikan kebenaran.

1. Apa yang “palsu” tentang Berita Palsu?

Wacana “berita palsu” telah menjadi objek diskusi dan debat yang sengit. Umumnya berita palsu mengacu pada penyebaran informasi sesat secara daring (online) atau melalui media tradisional. Berita palsu terkait dengan informasi palsu tanpa berdasarkan data atau memutar balik data dengan tujuan menipu dan mencurangi baik pembaca maupun pemirsa atau pendengar. Penyebaran berita palsu dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, memengaruhi keputusan-keputusan politik, dan melayani kepentingan-kepentingan ekonomi.

Berita palsu itu bisa efektif, terutama karena mampu mengelabui seolah-oleh berita yang benar dan masuk akal. Kedua, berita palsu, namun meyakinkan ini, amat cerdik serta mampu menarik perhatian, dengan memunculkan hal-hal stereotipe dan apa yang menjadi objek keingintahuan umum, serta mengeksploitasi emosi-emosi sesaat seperti kecemasan, rasa terhina, kemarahan dan frustrasi. Kemampuan untuk menyebarkan berita palsu semacam itu sering kali ditopang oleh kemampuan memanfaatkan, dengan manipulasi, pelbagai jejaring sosial dan cara kerjanya. Cerita-cerita yang tidak benar dapat menyebar begitu cepat, sehingga bantahan-bantahan dari pihak berwenang sekalipun gagal membendung dampak negatif yang ditimbulkannya.

Kesulitan untuk membuka kedok dan menyingkirkan berita palsu juga disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak orang berinteraksi dalam ruang lingkup digital yang seragam, yang “kedap” terhadap aneka sudut pandang dan pendapat yang berbeda, sehingga informasi sesat tumbuh subur di tengah tidak adanya informasi tandingan dari sumber-sumber lain yang dapat secara efektif menangkal prasangka dan melahirkan dialog konstruktif. Akibatnya, berita palsu itu menyeret orang menjadi kaki-tangan untuk meneruskan penyebaran gagasan tak berdasar dan bias. Tragedi dari informasi sesat ialah pendiskreditan pihak-pihak lain, menampilkan mereka sebagai musuh, dengan tujuan menjadikan mereka sasaran kebencian dan mengobarkan konflik. Berita bohong adalah wujud dari sikap intoleran dan hipersensitif, yang hanya akan mengarah kepada penyebaran arogansi dan kebencian. Itulah capaian akhir dari kebohongan.

2. Bagaimana Kita Dapat Mengenali Berita Palsu?

Kita semua tanpa kecuali bertanggungjawab menangkal berita palsu. Ini bukan tugas gampang, karena informasi sesat berakar pada retorika menyesatkan yang dengan sengaja dibuat sedemikian ringkas dan kadang-kadang memanfaatkan mekanisme psikologis yang mengelabui. Saat ini berbagai upaya yang patut dipuji sedang dilakukan untuk menciptakan program-program pendidikan yang bertujuan membantu orang menafsirkan dan menilai informasi yang disajikan media, dan mengajar mereka untuk secara aktif berperan membuka kedok kepalsuan, dan bukannya secara tidak sengaja malah giat menyebarkan informasi sesat. Kita patut menghargai aneka prakarsa kelembagaan dan hukum yang bertujuan mengembangkan regulasi untuk mengendalikan fenomena tersebut, demikian juga upaya yang sedang dilakukan pelbagai perusahaan teknologi dan media untuk menemukan kriteria pembuktian identitas pribadi yang tersembunyi di baik jutaan profil digital.

Namun upaya mencegah dan mengidentifikasi cara informasi sesat bekerja, juga memerlukan proses disermen mendalam dan seksama. Kita perlu membuka kedok dari apa yang dapat disebut “taktik ular” yang dipakai oleh mereka yang menyamarkan diri agar dapat menyerang pada setiap waktu dan tempat. Inilah strategi yang digunakan oleh “ular licik” dalam Kitab Kejadian, yang pada awal umat manusia, menciptakan berita bohong yang pertama. (bdk. Kej 3:1-15). Itulah awal sejarah tragis dosa manusia, dosa pembunuhan yang dilakukan kakak-beradik yang pertama (bdk. Kej 4) dan dari situ terus muncul kejahatan lain yang tak terhitung banyaknya, yang melawan Tuhan, sesama, masyarakat dan ciptaan. Strategi dari “bapa segala dusta” yang cerdik ini (Yoh 8:44) meniru bentuk rayuan licik dan jahat yang merasuk ke dalam hati dengan argumen-argumen palsu dan memikat.

Dalam kisah tentang dosa pertama, si penggoda mendekati si perempuan, dengan berpura-pura menjadi seorang sahabat yang peduli pada kesejahteraannya. Ia menyampaikan sesuatu yang hanya separuh benar: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej 3:1). Padahal yang benar adalah Tuhan tidak pernah melarang Adam makan buah dari semua pohon, tetapi hanya buah dari satu pohon saja: “Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya” (Kej 2:17). Perempuan itu membantah perkataan si ular, namun membiarkan dirinya terperangkap oleh hasutan si ular: “Tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej 3:2). Jawaban perempuan itu ditulis dengan istilah yang legalistik dan negatif; setelah mendengarkan si penggoda dan membiarkan dirinya terperdaya oleh fakta-fakta menurut versi si ular, perempuan itu pun terperdaya. Maka, ia menuruti apa yang dikatakan si penggoda dengan yakin: “Sekali-kali kamu tidak akan mati!” (Kej 3:4).

“Dekonstruksi” si penggoda kemudian tampil dalam bentuk kebenaran: “Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej 3:5). Perintah Allah sebagai Bapa, yang dimaksudkan untuk kebaikan mereka (manusia pertama), diputar-balikkan oleh bujuk rayu si musuh: “Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (Kej 3:6). Episode alkitabiah ini mejelaskan suatu unsur hakiki dari refleksi kita, yaitu tidak ada informasi sesat yang tidak berbahaya; sebaliknya, mempercayai kepalsuan dapat mendatangkan akibat-akibat yang sangat buruk. Bahkan suatu penyimpangan yang nampaknya kecil pun dapat menyebabkan akibat-akibat berbahaya.

Penyebab semua ini adalah keserakahan kita. Berita palsu sering kali menjadi viral, menyebar dengan sangat cepat sehingga sulit dihentikan, bukan karena dorongan untuk berbagi yang memang mengilhami media sosial, melainkan karena berita palsu itu merangsang keserakahan yang tak pernah terpuaskan, yang dapat muncul dengan begitu mudah dalam diri manusia. Tujuan ekonomis dan manipulatif yang memacu informasi sesat berakar pada kehausan akan kekuasaan, hasrat untuk memiliki dan menikmati, yang pada akhirnya menyebabkan korban penipuan yang lebih tragis, yakni tipu-daya si jahat yang bergerak dari satu kepalsuan ke kepalsuan lainnya untuk mencabut kita dari kebebasan batiniah kita. Itulah mengapa pendidikan tentang kebenaran berarti mengajar orang untuk melakukan disermen, mengevaluasi, dan memahami hasrat dan kecenderungan kita yang paling dalam, sebab jika tidak demikian maka kita akan kehilangan wawasan tentang apa yang baik dan menyerah pada setiap godaan.

3. “Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32)

Pencemaran terus-menerus oleh bahasa bohong dapat berakhir pada semakin gelapnya kehidupan batin kita. Pengamatan Dostoevsky menjelaskan hal itu: “Orang-orang yang menipu diri dan mempercayai tipuannya sendiri akan sampai pada suatu titik, di mana mereka tidak dapat lagi mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di sekitar mereka, dan dengan demikian mereka kehilangan rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan terhadap orang lain. Dan ketika mereka tidak lagi memiliki rasa hormat pada diri mereka sendiri, mereka akan berhenti mencintai, dan kemudian untuk menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian dari diri mereka yang tanpa kasih, mereka mengumbar berbagai nafsu dan kenikmatan badani, serta tenggelam dalam ketamakan yang meyerupai binatang, dalam kebiasaan untuk terus menerus berbohong kepada sesama dan diri mereka sendiri”. (The Brothers Karamazov, II, 2).

Lalu, bagaimana kita dapat mempertahankan diri dari kebohongan? Penangkal paling jitu terhadap virus kepalsuan adalah pemurnian oleh kebenaran. Dalam Kekristenan, kebenaran bukan melulu suatu realitas konseptual yang berhubungan dengan bagaimana kita menilai segala sesuatu, menentukan sesuatu benar atau salah. Kebenaran itu tidak sekadar mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi, “menyingkap kenyataan”, sebagaimana kebenaran diartikan dalam istilah Yunani kuno yaitu aletheia (dari kata a-lethès, “tidak tersembunyi”). Kebenaran mencakup keseluruhan hidup kita. Dalam Alkitab, kebenaran mengandung makna dukungan, soliditas dan kepercayaan, seperti yang tersirat oleh akar kata ‘aman,’ asal-usul kata ‘amin’ dalam liturgi kita. Kebenaran adalah sesuatu ke mana anda dapat bersandar agar tidak jatuh. Dalam pengertian relasional ini, Dialah satu-satunya yang dapat sungguh-sungguh diandalkan dan dipercayai – Dia yang bisa kita andalkan – adalah Tuhan yang hidup. Oleh karena itu, Yesus dapat berkata: “Akulah kebenaran” (Yoh 14:6). Kita menemukan kembali kebenaran ketika kita mengalaminya di dalam diri kita sendiri, dalam kesetiaan dan kepercayaan kepada Dia yang mengasihi kita. Inilah satu-satunya yang dapat membebaskan kita: “Kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32).

Bebas dari kepalsuan dan mencari relasi, merupakan dua unsur yang tidak boleh hilang dari kata dan perbuatan kita, agar kata dan sikap kita benar, otentik dan dapat dipercaya. Untuk mengenal kebenaran, kita perlu mengenal segala sesuatu yang mendorong terbentuknya persekutuan dan yang memajukan kebaikan, serta membedakannya dari apa pun yang cenderung mengasingkan, memecah belah, dan menentang. Karena itu, kebenaran sesungguhnya tidak dapat dipahami, ketika kebenaran dipaksakan dari luar sebagai sesuatu yang impersonal. Kebenaran hanya dapat mengalir dari relasi bebas di antara orang-orang dan dari saling mendengarkan. Kita juga tidak akan pernah bisa berhenti mencari kebenaran, selama kepalsuan selalu bisa menyelinap masuk, bahkan ketika kita menyatakan hal-hal yang benar. Argumen yang tak dapat salah, sesungguhnya berlandas pada fakta-fakta yang tak terbantahkan, namun jika argumen itu digunakan untuk melukai orang lain dan untuk mendiskreditkan orang itu di hadapan orang lain, maka betapapun argumen itu kelihatannya benar, argumen tersebut sesungguhnya tidak mengungkap kebenaran. Kita bisa mengenal kebenaran setiap pernyataan dari buahnya: apakah pernyataan itu memicu pertengkaran, menimbulkan perpecahan, mendorong pengunduran diri; atau sebaliknya, pernyataan itu mengembangkan refleksi yang matang dan berlandas pada informasi benar yang mengarah kepada dialog konstruktif dengan hasil-hasil yang bermanfaat.

4. Perdamaian adalah Berita yang Sebenarnya

Penangkal terbaik melawan kebohongan bukan strategi, melainkan masyarakat: masyarakat yang tidak serakah tetapi bersedia mendengarkan, masyarakat yang berikhtiar melakukan dialog tulus agar kebenaran dapat tersingkap: masyarakat yang tertarik oleh kebaikan dan bertanggung jawab atas cara bagaimana memanfaatkan bahasa. Jika tanggung jawab adalah jawaban terhadap penyebaran berita bohong, maka tanggung jawab berat itu berada di pundak orang-orang yang tugasnya memberikan informasi, yaitu para wartawan, pengawal berita. Di dunia sekarang ini, tugas mereka adalah memberikan informasi bukan sekadar sebagai suatu pekerjaan. Tugas itu adalah sebuah misi, perutusan. Di tengah hiruk pikuk dan hingar-bingar kesibukan menyampaikan berita pertama serta tercepat, para jurnalis mesti ingat bahwa intisari informasi bukanlah kecepatan menyampaikan atau dampaknya pada para audiens, melainkan orang perorangan. Memberikan informasi kepada orang lain berarti membentuk mereka; itu berarti ada hubungannya dengan kehidupan orang lain. Itulah alasannya mengapa menjamin keakuratan sumber dan melindungi komunikasi adalah sarana riil untuk memajukan kebaikan, membangkitkan kepercayaan, dan membuka jalan menuju persekutuan dan perdamaian.

Maka, saya ingin mengajak semua orang untuk memajukan jurnalisme perdamaian. Jurnalisme perdamaian tidak dimaksudkan sebagai jurnalisme “pemanis rasa” yang menolak mengakui adanya masalah-masalah serius atau jurnalisme yang bernada sentimentalisme. Sebaliknya, jurnalisme perdamaian adalah suatu jurnalisme yang jujur ​​dan menentang kepalsuan, slogan-slogan retoris, dan pokok berita yang sensasional. Sebuah jurnalisme yang diciptakan oleh masyarakat untuk masyarakat, yang melayani semua orang, terutama mereka – dan mereka adalah mayoritas di tengah dunia kita – mereka yang tidak bersuara. Sebuah jurnalisme yang tidak terpusat pada breaking news (berita sela) tetapi menelisik sebab-sebab yang mendasari konflik, guna memajukan pemahaman yang lebih mendalam dan memberi sumbangan bagi jalan keluar dengan memulai suatu proses yang baik. Sebuah jurnalisme yang berkomitmen untuk menunjukkan beragam alternatif terhadap meningkatnya keributan dan kekerasan verbal.

Untuk mencapai tujuan ini, seraya menimba ilham dari untaian doa Fransiskan, kita sebagai pribadi mesti berpaling kepada Sang Kebenaran:

Tuhan, jadikanlah kami alat damai-Mu.
Bantulah kami mengenali kejahatan yang tersembunyi dalam suatu komunikasi yang tidak membangun persekutuan.
Bantulah kami untuk membuang racun dari berbagai penilaian kami.
Bantulah kami untuk berbicara tentang orang lain sebagai saudara dan saudari kami.
Dikaulah yang setia dan dapat diandalkan; semoga perkataan kami menjadi benih kebaikan bagi dunia:
di mana ada teriakan, biarkanlah kami berlatih mendengarkan;
di mana ada kebingungan, biarkanlah kami mengilhami keselarasan;
di mana ada ketidakjelasan, biarkanlah kami membawa kejelasan;
di mana ada pengucilan, biarkanlah kami memberi solidaritas;
di mana ada kegemparan, biarkanlah kami memakai ketenangan;
di mana ada kedangkalan, biarkanlah kami mengajukan persoalan-persoalan nyata;
di mana ada prasangka, biarkanlah kami membangkitkan kepercayaan;
di mana ada permusuhan, biarkanlah kami membawa rasa hormat;
di mana ada kepalsuan, biarkanlah kami membawa kebenaran.
Amin.

Sri Paus Fransiskus

2016 ~ PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE - 50

Pesan Bapa Suci Fransiskus
Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-50
(Ahad) 8 Mei 2016. 

http://katekesekatolik.blogspot.my/2016/01/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari.html

Komunikasi dan Kerahiman: Suatu Perjumpaan Yang Bermanfaat



Saudara dan saudari terkasih,

Tahun Suci Kerahiman mengajak kita semua untuk merenungkan hubungan antara komunikasi dan kerahiman. Gereja, dalam persatuan dengan Kristus, penjelmaan yang hidup dari Bapa Kerahiman, dipanggil untuk melaksanakan kerahiman sebagai ciri khas dari seluruh dirinya dan seluruh yang ia lakukan. Apa yang kita katakan dan bagaimana kita mengatakannya, setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kasih sayang, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, berdasarkan sifatnya, adalah komunikasi; ia mengarah kepada keterbukaan dan berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh cinta kasih, oleh kasih ilahi, maka komunikasi kita akan terjamah oleh kuasa Allah sendiri.

Sebagai putra dan putri Allah, kita dipanggil untuk berkomunikasi dengan semua orang, tanpa kecuali. Dengan cara tertentu, kata-kata dan tindakan-tindakan Gereja semuanya dimaksudkan untuk menyampaikan kerahiman, menjamah hati orang-orang dan menopang mereka dalam perjalanan mereka menuju kepenuhan hidup yang dibawa oleh Yesus Kristus yang diutus Bapa kepada semua orang. Ini berarti bahwa diri kita sendiri harus bersedia menerima kehangatan Gereja Bunda dan berbagi kehangatan itu dengan orang lain, sehingga Yesus dapat dikenal dan dikasihi. Kehangatan itulah yang memberi hakekat kepada sabda iman; dengan pewartaan dan kesaksian kita, ia memicu "percikan" yang memberi mereka kehidupan.

Komunikasi memiliki kekuatan membangun jembatan, memungkinkan perjumpaan dan penyertaan, serta dengan demikian memperkaya masyarakat. Betapa indahnya ketika orang-orang memilih kata-kata dan tindakan-tindakan mereka dengan kepedulian, dalam upaya untuk menghindari kesalahpahaman, menyembuhkan ingatan-ingatan yang terluka dan membangun perdamaian dan keselarasan. Kata-kata dapat membangun jembatan antara pribadi-pribadi dan di dalam keluarga-keluarga, kelompok-kelompok sosial dan bangsa-bangsa. Hal ini dimungkinkan baik dalam dunia materi maupun dunia digital. Kata-kata dan tindakan-tindakan kita seharusnya sedemikian untuk membantu kita semua membebaskan diri dari lingkaran setan kecaman dan dendam yang terus menjerat pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa, mendorong ungkapan-ungkapan akan kebencian. Kata-kata orang-orang Kristiani harus menjadi sebuah dorongan terus menerus bagi persekutuan dan, bahkan dalam kasus-kasus tersebut di mana mereka harus dengan tegas mengutuk kejahatan, mereka seharusnya jangan pernah mencoba untuk memutuskan pertalian dan komunikasi.

Karena alasan ini, saya ingin mengajak semua orang yang berkehendak baik menemukan kembali kekuatan kerahiman untuk menyembuhkan pertalian yang terluka dan memulihkan perdamaian dan keselarasan kepada keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas. Kita semua tahu berapa banyak cara luka-luka lama dan kebencian yang berkepanjangan dapat menjerat pribadi-pribadi dan berdiri di jalan komunikasi dan rekonsiliasi. Hal yang sama berlaku untuk pertalian di antara bangsa-bangsa. Dalam setiap kasus, kerahiman mampu menciptakan sejenis baru cara bicara dan dialog. Shakespeare menempatkannya secara fasih ketika ia berkata: "Kualitas kerahiman tidak dipaksakan. Ia turun sebagai hujan yang lembut dari langit ke atas tempat di bawah. Ia dua kali terberkati: ia memberkati dia yang memberi dan dia yang menerima" (The Pedagang Venisia, Undang-Undang IV, Tema I).

Bahasa politik dan diplomatik kita akan melakukannya dengan baik terilhami oleh kerahiman, yang tidak pernah kehilangan harapan. Saya meminta mereka dengan tanggung jawab kelembagaan dan politik, dan mereka yang diberi tanggung jawab dengan membentuk pendapat publik, untuk tetap memberi perhatian khusus pada cara mereka berbicara tentang orang-orang yang berpikir atau bertindak secara berbeda atau mereka yang mungkin telah membuat kesalahan. Mudah menyerah pada godaan untuk mengeksploitasi situasi-situasi seperti itu memantik api ketidakpercayaan, ketakutan dan kebencian. Sebaliknya, keberanian diperlukan untuk membimbing orang-orang menuju proses rekonsiliasi. Justru keberanian positif dan kreatif seperti itulah yang menawarkan penyelesaian nyata untuk perseteruan-perseteruan lama dan kesempatan untuk membangun perdamaian abadi. "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Mat 5:7-9).

Betapa saya berharap agar cara kita sendiri berkomunikasi, serta pelayanan kita sebagai para gembala Gereja, jangan pernah boleh mengesankan superioritas yang angkuh dan berjaya atas seorang musuh, atau merendahkan orang-orang yang dianggap dunia tidak ada dan mudah dicampakkan. Kerahiman dapat membantu meringankan kesulitan-kesulitan hidup dan menawarkan kehangatan kepada mereka yang hanya mengenal dinginnya penghakiman. Semoga cara kita berkomunikasi membantu mengatasi pola pikir yang dengan anggun memisahkan orang-orang berdosa dari orang-orang benar. Kita bisa dan kita harus menilai situasi-situasi kedosaan - seperti kekerasan, korupsi dan eksploitasi - tetapi kita tidak bisa menghakimi pribadi-pribadi, karena hanya Allah yang bisa melihat ke kedalaman hati mereka. Tugas kitalah menegur mereka yang berbuat salah serta mengecam kejahatan dan ketidakadilan cara-cara bertindak tertentu, demi membebaskan para korban dan membangkitkan mereka yang telah jatuh. Injil Yohanes mengatakan kepada kita bahwa "kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh 8:32). Kebenaran akhirnya adalah Kristus sendiri, yang kerahiman-Nya lembut adalah tolok ukur untuk mengukur cara kita memberitakan kebenaran dan mengutuk ketidakadilan. Tugas utama kita adalah menegakkan kebenaran dengan kasih (bdk. Ef 4:15). Hanya kata-kata yang diucapkan dengan kasih dan disertai dengan kelembutan dan kerahiman dapat menjamah hati kita yang penuh dosa. Kata-kata dan tindakan-tindakan yang keras dan bersifat moral beresiko lebih mengasingkan orang-orang yang ingin kita tuntun kepada pertobatan dan kebebasan, memperkuat rasa penolakan dan sikap defensif mereka.

Beberapa orang merasakan visi masyarakat yang berakar pada kerahiman adalah idealisme tanpa harapan atau kemurahan yang berlebihan. Tetapi marilah kita mencoba dan mengingat pengalaman pertama pertalian kita, di dalam keluarga-keluarga kita. Para orang tua kita mengasihi kita dan menghargai kita karena siapa kita ketimbang kemampuan dan pencapaian kita. Para orang tua secara alamiah menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka, tetapi kasih itu jangan pernah bergantung pada kondisi-kondisi tertentu pertemuan mereka. Rumah keluarga adalah salah satu tempat di mana kita selalu diterima (bdk. Luk 15:11-32). Saya ingin mendorong semua orang untuk melihat masyarakat bukan sebagai sebuah forum di mana orang-orang asing bersaing dan mencoba untuk muncul di atas, tetapi terutama sebagai sebuah rumah atau sebuah keluarga, di mana pintu selalu terbuka dan di mana semua orang merasa diterima.

Agar hal ini terjadi, pertama-tama kita harus mendengarkan. Berkomunikasi berarti berbagi, dan berbagi menuntut pendengaran dan penerimaan. Mendengarkan jauh lebih dari sekedar mendengar. Mendengar adalah tentang menerima informasi, sedangkan mendengarkan adalah tentang komunikasi, dan panggilan terhadap kedekatan. Mendengarkan memungkinkan kita mendapatkan hal-hal yang benar, dan tidak hanya menjadi para penonton, para pengguna atau para pemakai yang pasif. Mendengarkan juga berarti mampu berbagi pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan, melakukan perjalanan dari sisi ke sisi, membuang semua klaim kekuasaan mutlak dan menempatkan kemampuan-kemampuan dan karunia-karunia kita pada pelayanan kebaikan bersama.

Mendengarkan tidak pernah mudah. Berkali-kali lebih mudah bermain tuli. Mendengarkan berarti memberi perhatian, ingin memahami, menghargai, menghormati dan merenungkan apa yang orang lain katakan. Ia melibatkan semacam kemartiran atau pengorbanan diri, saat kita mencoba meniru Musa di hadapan semak terbakar : kita harus menanggalkan kasut kita ketika berdiri di "tanah suci" perjumpaan kita dengan orang yang berbicara kepadaku (bdk. Kel 3:5). Mengetahui betapa mendengarkan adalah sebuah karunia besar, ia adalah sebuah karunia yang perlu kita mohon dan kemudian membuat setiap upaya melaksanakannya.

Surat elektronik, pesan teks, jaringan sosial dan chatting juga bisa menjadi bentuk-bentuk komunikasi manusia sepenuhnya. Bukanlah teknologi yang menentukan apakah komunikasi adalah otentik atau tidak, melainkan hati manusia dan kemampuan kita untuk menggunakan secara bijak sarana-sarana yang kita miliki. Jaringan-jaringan sosial dapat memfasilitasi pertalian dan mempromosikan kebaikan masyarakat, tetapi mereka juga dapat menyebabkan pengkutuban lebih lanjut dan perpecahan di antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok. Dunia digital adalah sebuah lapangan umum, sebuah tempat pertemuan di mana kita bisa saling mendorong maupun merendahkan, terlibat dalam diskusi bermakna atau serangan yang tidak adil. Saya berdoa agar Tahun Yubileum ini, yang dihayati dalam kerahiman, "dapat membuka kita untuk lebih sungguh-sungguh berdialog agar kita bisa saling mengenal dan memahami dengan lebih baik; dan agar dapat menghilangkan setiap bentuk pikiran yang tertutup dan rasa tidak hormat, dan mengusir setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi" (Misericordiae Vultus, 23). Internet dapat membantu kita untuk menjadi warga negara yang lebih baik. Akses ke jaringan digital memerlukan tanggung jawab akan sesama kita yang tidak kita lihat, tetapi yang tetap nyata dan memiliki martabat yang harus dihormati. Internet dapat digunakan secara bijak untuk membangun sebuah masyarakat yang sehat dan terbuka untuk berbagi.

Komunikasi, di manapun dan bagaimanapun itu terjadi, telah membuka cakrawala yang lebih luas bagi banyak orang. Ini adalah sebuah karunia Allah yang melibatkan sebuah tanggung jawab besar. Saya ingin merujuk pada kekuatan komunikasi ini sebagai "kedekatan". Perjumpaan antara komunikasi dan kerahiman akan bermanfaat untuk tingkat di mana ia menghasilkan sebuah kedekatan yang memedulikan, membuat kenyamanan, menyembuhkan, menyertai dan merayakan. Dalam sebuah dunia yang rusak, terpecah-pecah dan terkutub-kutub, berkomunikasi dengan kerahiman berarti membantu menciptakan sebuah kedekatan yang sehat, bebas dan bersaudara di antara anak-anak Allah dan seluruh saudara dan saudari kita dalam satu keluarga umat manusia.

Dari Vatikan, 24 Januari 2016

FRANSISKUS

2015 ~ PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE - 49


Pesan Bapa Suci Fransiskus
Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-49
(Ahad) 17 Mei 2015. 

http://tpbppenampang.blogspot.com/2015/04/pesan-pope-francissempena-hari.html

Mengkomunikasikan Keluarga: Tempat Istimewa Perjumpaan Karunia Kasih

KELUARGA adalah sebuah pokok refleksi mendalam Gereja dan sebuah proses yang melibatkan dua Sinode: Sinode luar biasa baru-baru ini dan Sinode biasa yang dijadwalkan pada Oktober mendatang. Maka, hemat saya, tepatlah bila tema untuk Hari Komunikasi Sedunia yang ke-49 semestinya menjadikan keluarga sebagai titik acuannya.

Bagaimanapun juga, dalam konteks keluarga itulah kita pertama-tama belajar bagaimana berkomunikasi. Memusatkan perhatian pada konteks ini dapat membantu menjadikan komunikasi kita lebih autentik dan manusiawi, seraya pada saat yang sama membantu kita melihat keluarga dalam perspektif baru.

Kita dapat menimba ilham dari perikop Injil yang mengisahkan kunjungan Maria kepada Elisabet (Luk 1:39-56). ”Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: ‘Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu’” (ay. 41-42).

Kisah perikop itu sekali lagi memperlihatkan bagaimana komunikasi itu pada dasarnya juga melibatkan bahasa tubuh. Respon Elisabet atas salam Maria pertama-tama diekspresikan oleh bayi di dalam kandungannya yang melonjak kegirangan. Merasakan sukacita karena berjumpa sesama –suatu pengalaman personal yang kita alami, bahkan sebelum lahir pun- dalam arti tertentu merupakan wujud asali dan simbol dari semua bentuk komunikasi.

Rahim adalah “sekolah” komunikasi yang pertama, tempat mendengarkan dan kontak fisik di mana kita mulai mengakrabkan diri dengan dunia luar dalam sebuah lingkungan yang terlindung, dengan suara yang menenteramkan dari detak jantung sang ibu. Pertemuan di antara dua orang, yang saling terkait begitu erat namun tetap berbeda satu sama lain, sebuah pertemuan yang sarat janji, adalah pengalaman komunikasi kita yang pertama. Ini adalah pengalaman yang kita semua miliki, karena masing-masing kita terlahir dari seorang ibu.

Bahkan setelah kita terlahir ke dunia, dalam arti tertentu kita masih tetap berada dalam sebuah “rahim”, yakni keluarga. Sebuah rahim terdiri dari berbagai orang yang saling terkait: keluarga adalah tempat “di mana kita, meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain” (Evangelii Gaudium, 66). Betapapun ada perbedaan jenis kelamin dan usia di antara mereka, namun para anggota keluarga menerima satu sama lain karena ada ikatan di antara mereka. Semakin lebar cakupan relasi ini dan semakin besar perbedaan usia, maka akan semakin kaya lingkungan hidup kita. Ikatan inilah yang merupakan akar bahasa, yang pada gilirannya memperkuat ikatan tersebut. Kita tidak menciptakan bahasa kita; kita dapat menggunakan bahasa karena kita telah mewarisinya. Di dalam keluarga inilah kita belajar menuturkan “bahasa ibu”, yaitu bahasa dari mereka yang telah mendahului kita. (Bdk. 2 Makabe 7:25, 27). Di dalam keluarga kita menyadari bahwa ada orang-orang lain yang telah mendahului kita, mereka memungkinkan kita untuk berada dan pada gilirannya kita mesti menghasilkan kehidupan dan melakukan sesuatu yang baik lagi indah. Kita mampu memberi karena kita telah menerima. Lingkaran luhur ini merupakan intipati kemampuan keluarga untuk berkomunikasi di antara para anggotanya dan dengan orang-orang lain. Secara umum, lingkaran tersebut adalah model untuk semua komunikasi.

Pengalaman tentang relasi yang “mendahului” kita memungkinkan keluarga untuk menjadi latar di mana bentuk komunikasi yang paling dasar, yaitu doa, diwariskan. Ketika para orangtua menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir, mereka sering kali mempercayakan anak-anak itu kepada Tuhan, seraya memohon agar Ia menjaga mereka. Ketika anak-anak itu bertambah usia, para orangtua membantu mereka untuk mendaraskan beberapa doa sederhana, seraya mengenang kasih sayang orang-orang lain, seperti kakek-nenek, para kerabat, orang-orang sakit dan menderita, dan semua orang yang membutuhkan pertolongan Tuhan. Di dalam keluarga itulah sebagian besar kita mempelajari dimensi rohani komunikasi, yang di dalam Kekristenan diresapi dengan kasih, yaitu kasih yang Allah anugerahkan kepada kita dan yang kemudian kita bagikan kepada orang-orang lain.

Di dalam keluarga itulah kita belajar bagaimana masing-masing bisa saling berbagi dan mendukung, belajar mampu mengartikan secara tepat ekspresi wajah orang dan membaca isi hatinya sekalipun diam tak berkata-kata; kita tertawa dan menangis bersama pribadi-pribadi yang tidak saling memilih tetapi begitu berarti satu sama lain. Realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna komunikasi sebagai kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan mempertautkan.

Manakala kita mengurangi jarak dengan bertumbuh lebih dekat dan saling menerima, maka kita mengalami rasa syukur dan sukacita. Salam Maria dan lonjakan sukacita anaknya merupakan sebuah berkat bagi Elisabet; disusul madah indah Magnificat, di mana Maria memuji rencana kasih Allah bagi dirinya dan bagi kaumnya. Sebuah “ya” yang diujarkan dengan iman dapat memiliki dampak yang melampaui diri kita dan tempat kita di dunia ini.

”Mengunjungi” berarti membuka pintu, tidak tinggal tertutup di dunia kecil kita, melainkan pergi mendatangi orang-orang lain. Demikian pula keluarga menjadi hidup lantaran ia melampaui dirinya. Keluarga-keluarga yang melakukan hal demikian mengkomunikasikan pesan mereka tentang hidup dan persekutuan, seraya memberikan penghiburan dan pengharapan kepada keluarga-keluarga yang lebih rapuh, dan dengan demikian membangun Gereja itu sendiri, yang merupakan keluarga semua keluarga.

Lebih daripada apa pun juga, keluarga adalah tempat di mana kita setiap hari mengalami aneka keterbatasan kita sendiri dan keterbatasan orang-orang lain, pelbagai masalah besar dan kecil yang termaktub dalam kehidupan yang damai dengan orang-orang lain. Sebuah keluarga yang sempurna tidak ada. Kita tidak perlu takut akan cacat cela, kelemahan atau bahkan konflik, tetapi sebaliknya belajar untuk mengatasi semuanya secara konstruktif. Keluarga, di mana kita tetap mengasihi satu sama lain meskipun ada serba keterbatasan dan dosa-dosa kita, karenanya merupakan sebuah sekolah pengampunan. Pengampunan itu sendiri merupakan sebuah proses komunikasi. Ketika penyesalan diungkapkan dan diterima, maka ada kemungkinan untuk memulihkan dan membangun kembali komunikasi yang putus. Seorang anak yang belajar dalam keluarga bagaimana mendengarkan orang lain, bagaimana berbicara dengan hormat dan mengungkapkan pandangannya tanpa menafikan orang lain, akan menjadi sebuah kekuatan bagi dialog dan rekonsiliasi di tengah masyarakat.

Ketika bersinggungan dengan tantangan dalam berkomunikasi, maka keluarga-keluarga yang memiliki anak-anak dengan keterbatasan fisik maupun mental mengajarkan banyak hal kepada kita. Keterbatasan gerak (motorik), perasaan (sensorik) atau mental dapat menjadi alasan untuk kemudian menutup diri, namun sebaliknya –berkat kasih orangtua, saudara kandung dan teman—juga bisa menjadi pendorong untuk terbuka, kemauan berbagi dan kesiapan menjalin komunikasi dengan siapa saja. Hal ini juga bisa membantu sekolah, paroki, dan kelompok-kelompok orang untuk semakin terbuka dan inklusif bagi siapa pun.

Di dunia nyata dimana orang sering kali dengan gampangnya mengumpat, menggunakan kata-kata kasar, membicarakan kejelekan orang lain, menabur pertentangan dan meracuni pergaulan sosial dengan gosip, maka keluarga menjadi acuan tentang bagaimana seharusnya memahami komunikasi sebagai rahmat. Dalam banyak situasi yang secara nyata dikekang oleh nafas kebencian dan aroma kekerasan, dimana banyak keluarga terpisah satu sama lain oleh kokohnya tembok batu atau jurang pemisah lantaran prasangka buruk dan rasa tidak suka, dimana terjadi situasi yang memungkinkan mengatakan ‘cukuplah sudah sekarang ini!’, rasanya hanya dengan berkah daripada kutukan, dengan jalan berkunjung daripada mengusir, dengan menerima daripada mengajak ribut, maka kita akan mampu mematahkan rantai spiral kejahatan; juga mampu memperlihatkan bahwa kebaikan itu selalu saja mungkin dan mendidik anak-anak kita untuk menghargai pertemanan.

Dewasa ini media modern, yang merupakan bagian hakiki dari kehidupan kaum muda khususnya, dapat menjadi bantuan namun juga halangan bagi komunikasi di dalam dan di antara keluarga. Media bisa merupakan halangan jika dijadikan cara untuk mencegah kita mendengarkan orang lain, untuk mengelakkan kontak fisik, untuk mengisi setiap saat hening dan istirahat, sehingga kita lupa bahwa “keheningan adalah bagian terpadu dari komunikasi; tanpa keheningan, kata-kata yang kaya pesan tak akan ada”, (BENEDIKTUS XVI, Pesan Untuk Hari Komunikasi Sedunia Tahun 2012 ). Media dapat menjadi bantuan bagi komunikasi ketika media memungkinkan orang untuk berbagi kisah, untuk tetap menjalin kontak dengan teman-teman yang jauh, untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain atau meminta pengampunan mereka, dan untuk membuka pintu bagi perjumpaan-perjumpaan baru. Dengan berkembang setiap hari dalam kesadaran kita akan betapa pentingnya berjumpa dengan orang-orang lain, “peluang-peluang baru” ini, maka kita akan memakai teknologi secara bijaksana, alih-alih membiarkan diri kita dikuasai media. Di sini juga, para orangtua adalah pendidik utama, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan sendirian. Komunitas Kristen dipanggil untuk membantu mereka mengajarkan anak-anak bagaimana hidup dalam sebuah lingkungan media secara sepadan dengan martabat mereka sebagai pribadi manusia dan demi melayani kesejahteraan umum.

Tantangan besar yang kita hadapi saat ini ialah untuk mempelajari kembali bagaimana berbicara satu sama lain, tidak sekadar bagaimana untuk menghasilkan dan memakai informasi. Yang terakhir tadi adalah kecenderungan yang dapat didorong oleh media komunikasi modern kita yang terbilang penting dan berpengaruh. Informasi memang penting, tetapi tidak cukup. Sekian sering hal-hal disederhanakan, aneka posisi dan sudut pandang berbeda diadu satu sama lain, dan orang-orang diajak memihak, alih-alih melihat hal-hal itu secara utuh.

Kesimpulannya, keluarga bukanlah pokok bahasan atau sumber darimana pertentangan ideologis muncul. Melainkan, keluarga harus dipandang sebagai ruang sosial dimana kita semua belajar berkomunikasi yang ditandai oleh pengalaman akan keakraban satu sama lain. Keluarga adalah ruang sosial dimana komunikasi itu terjadi, sebuah komunitas manusia yang saling berkomunikasi. Keluarga adalah suatu komunitas yang senantiasa menyediakan pertolongan, yang menyegarkan kehidupan dan membuahkan hasil. Begitu kita menyadari hal ini, maka kita sekali lagi akan dimampukan melihat bahwa keluarga senantiasa menjadi sumber daya manusia yang begitu kaya manakala bila bertabrakan dengan masalah. Banyak kali, media suka menampilkan keluarga lazimnya sebuah model abstrak yang bisa ditolak, dibela atau diserang dan bukannya pertama-tama melihatnya sebagai realitas sosial yang hidup. Sering juga keluarga diperlakukan sebagai sumber darimana pertentangan ideologis itu muncul daripada melihatnya sebagai ruang sosial dimana kita semua ini belajar apa artinya berkomunikasi dalam bingkai kasih yang diwarnai semangat saling memberi-menerima. Berpijak pada pengalaman nyata inilah kita menjadi sadar bahwa ternyata hidup kita ini terjalin bersama sebagai suatu realitas tunggal, bahwa kita masing-masing itu banyak perbedaannya namun sekali lagi setiap orang pada dasarnya tetaplah pribadi yang unik.

Keluarga-keluarga harus dilihat sebagai sumber daya alih-alih sebagai masalah bagi masyarakat. Keluarga-keluargaberkomunikasi secara aktif melalui kesaksian mereka tentang keindahan dan kekayaan relasi antara lelaki dan perempuan, dan antara para orangtua dan anak-anak. Kita tidak sedang berjuang untuk membela masa lalu. Sebaliknya, dengan kesabaran dan kepercayaan, kita bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi dunia di mana kita hidup.

Diberikan di Vatikan, 23 Januari 2015, Vigilii Pesta Santo Fransiskus dari Sales


PAUS FRANSISKUS

2014 ~ 48TH WORLD COMMUNICATIONS DAY


MESSAGE OF POPE FRANCIS
FOR THE 48TH WORLD COMMUNICATIONS DAY
Communication at the Service of an Authentic Culture of Encounter
[Sunday, 1 June 2014]

Dear Brothers and Sisters,
Today we are living in a world which is growing ever “smaller” and where, as a result, it would seem to be easier for all of us to be neighbours.  Developments in travel and communications technology are bringing us closer together and making us more connected, even as globalization makes us increasingly interdependent.  Nonetheless, divisions, which are sometimes quite deep, continue to exist within our human family.  On the global level we see a scandalous gap between the opulence of the wealthy and the utter destitution of the poor.  Often we need only walk the streets of a city to see the contrast between people living on the street and the brilliant lights of the store windows.  We have become so accustomed to these things that they no longer unsettle us.  Our world suffers from many forms of exclusion, marginalization and poverty, to say nothing of conflicts born of a combination of economic, political, ideological, and, sadly, even religious motives.

In a world like this, media can help us to feel closer to one another, creating a sense of the unity of the human family which can in turn inspire solidarity and serious efforts to ensure a more dignified life for all.  Good communication helps us to grow closer, to know one another better, and ultimately, to grow in unity.  The walls which divide us can be broken down only if we are prepared to listen and learn from one another.  We need to resolve our differences through forms of dialogue which help us grow in understanding and mutual respect.  A culture of encounter demands that we be ready not only to give, but also to receive.  Media can help us greatly in this, especially nowadays, when the networks of human communication have made unprecedented advances.  The internet, in particular, offers immense possibilities for encounter and solidarity.  This is something truly good, a gift from God.

This is not to say that certain problems do not exist.  The speed with which information is communicated exceeds our capacity for reflection and judgement, and this does not make for more balanced and proper forms of self-expression.  The variety of opinions being aired can be seen as helpful, but it also enables people to barricade themselves behind sources of information which only confirm their own wishes and ideas, or political and economic interests.  The world of communications can help us either to expand our knowledge or to lose our bearings.  The desire for digital connectivity can have the effect of isolating us from our neighbours, from those closest to us.  We should not overlook the fact that those who for whatever reason lack access to social media run the risk of being left behind.

While these drawbacks are real, they do not justify rejecting social media; rather, they remind us that communication is ultimately a human rather than technological achievement.  What is it, then, that helps us, in the digital environment, to grow in humanity and mutual understanding?  We need, for example, to recover a certain sense of deliberateness and calm.  This calls for time and the ability to be silent and to listen.  We need also to be patient if we want to understand those who are different from us.  People only express themselves fully when they are not merely tolerated, but know that they are truly accepted.  If we are genuinely attentive in listening to others, we will learn to look at the world with different eyes and come to appreciate the richness of human experience as manifested in different cultures and traditions.  We will also learn to appreciate more fully the important values inspired by Christianity, such as the vision of the human person, the nature of marriage and the family, the proper distinction between the religious and political spheres, the principles of solidarity and subsidiarity, and many others.

How, then, can communication be at the service of an authentic culture of encounter?  What does it mean for us, as disciples of the Lord, to encounter others in the light of the Gospel?  In spite of our own limitations and sinfulness, how do we draw truly close to one another?  These questions are summed up in what a scribe – a communicator – once asked Jesus: “And who is my neighbour?” (Lk 10:29).  This question can help us to see communication in terms of “neighbourliness”.  We might paraphrase the question in this way: How can we be “neighbourly” in our use of the communications media and in the new environment created by digital technology?  I find an answer in the parable of the Good Samaritan, which is also a parable about communication.  Those who communicate, in effect, become neighbours.  The Good Samaritan not only draws nearer to the man he finds half dead on the side of the road; he takes responsibility for him.  Jesus shifts our understanding: it is not just about seeing the other as someone like myself, but of the ability to make myself like the other.  Communication is really about realizing that we are all human beings, children of God.  I like seeing this power of communication as “neighbourliness”.

Whenever communication is primarily aimed at promoting consumption or manipulating others, we are dealing with a form of violent aggression like that suffered by the man in the parable, who was beaten by robbers and left abandoned on the road.  The Levite and the priest do not regard him as a neighbour, but as a stranger to be kept at a distance.  In those days, it was rules of ritual purity which conditioned their response.  Nowadays there is a danger that certain media so condition our responses that we fail to see our real neighbour.

It is not enough to be passersby on the digital highways, simply “connected”; connections need to grow into true encounters.  We cannot live apart, closed in on ourselves.  We need to love and to be loved.  We need tenderness.  Media strategies do not ensure beauty, goodness and truth in communication.  The world of media also has to be concerned with humanity, it too is called to show tenderness.  The digital world can be an environment rich in humanity; a network not of wires but of people.  The impartiality of media is merely an appearance; only those who go out of themselves in their communication can become a true point of reference for others.  Personal engagement is the basis of the trustworthiness of a communicator.  Christian witness, thanks to the internet, can thereby reach the peripheries of human existence.

As I have frequently observed, if a choice has to be made between a bruised Church which goes out to the streets and a Church suffering from self-absorption, I certainly prefer the first.  Those “streets” are the world where people live and where they can be reached, both effectively and affectively.  The digital highway is one of them, a street teeming with people who are often hurting, men and women looking for salvation or hope.  By means of the internet, the Christian message can reach “to the ends of the earth” (Acts 1:8).  Keeping the doors of our churches open also means keeping them open in the digital environment so that people, whatever their situation in life, can enter, and so that the Gospel can go out to reach everyone.  We are called to show that the Church is the home of all.  Are we capable of communicating the image of such a Church?  Communication is a means of expressing the missionary vocation of the entire Church; today the social networks are one way to experience this call to discover the beauty of faith, the beauty of encountering Christ.  In the area of communications too, we need a Church capable of bringing warmth and of stirring hearts. 

Effective Christian witness is not about bombarding people with religious messages, but about our willingness to be available to others “by patiently and respectfully engaging their questions and their doubts as they advance in their search for the truth and the meaning of human existence” (BENEDICT XVI, Message for the 47th World Communications Day, 2013).  We need but recall the story of the disciples on the way to Emmaus.  We have to be able to dialogue with the men and women of today, to understand their expectations, doubts and hopes, and to bring them the Gospel, Jesus Christ himself, God incarnate, who died and rose to free us from sin and death.  We are challenged to be people of depth, attentive to what is happening around us and spiritually alert.  To dialogue means to believe that the “other” has something worthwhile to say, and to entertain his or her point of view and perspective.  Engaging in dialogue does not mean renouncing our own ideas and traditions, but the claim that they alone are valid or absolute.

May the image of the Good Samaritan who tended to the wounds of the injured man by pouring oil and wine over them be our inspiration.  Let our communication be a balm which relieves pain and a fine wine which gladdens hearts.  May the light we bring to others not be the result of cosmetics or special effects, but rather of our being loving and merciful “neighbours” to those wounded and left on the side of the road.  Let us boldly become citizens of the digital world.  The Church needs to be concerned for, and present in, the world of communication, in order to dialogue with people today and to help them encounter Christ.  She needs to be a Church at the side of others, capable of accompanying everyone along the way.  The revolution taking place in communications media and in information technologies represents a great and thrilling challenge; may we respond to that challenge with fresh energy and imagination as we seek to share with others the beauty of God.

From the Vatican, 24 January 2014, the Memorial of Saint Francis de Sales.

FRANCIS


© Copyright - Libreria Editrice Vaticana

2014 ~ PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE-48

Pesan Sri Paus FransiskusHari Komunikasi Sosial Sedunia ke-48


“KOMUNIKASI DEMI MELAYANI PERJUMPAAN BUDAYA SEJATI”

1 Juni 2014

Saudara-saudari terkasih,

Dewasa ini kita hidup dalam suatu dunia yang tumbuh semakin “kecil” dan di mana, sebagai hasilnya, nampaknya lebih mudah bagi kita sekalian untuk menjadi sesama. Perkembangan dalam teknologi perjalanan dan komunikasi lebih mendekatkan kita bersama dan membuat kita lebih terhubungkan, karena globalisasi semakin membuat kita saling bergantung. Biarpun demikian, pemisahan-pemisahan, yang seringkali demikian mendalam, terus menerus hadir dalam keluarga manusiawi. Pada tataran global kita melihat suatu kesenjangan yang mencengangkan antara kelimpahan kaum kaya raya dan keterbuangan yang menganga dari kaum miskin. Kita hanya perlu menjalani jalan-jalan dari sebuah kota untuk melihat perbedaan antara orang-orang yang hidup di jalanan dan cahaya yang berkilauan dari jendela-jendela kawasan perdagangan. Kita sudah menjadi biasa dengan hal-hal ini, sehingga tidak lagi mengusik kita. Dunia kita menderita banyak bentuk dari pengasingan, keterpinggiran dan kemiskinan, tanpa mengutarakan perselisihan-perselisihan yang muncul dari suatu kombinasi dari alasan-alasan ekonomi, politik dan ideologi, serta sayangnya, juga agamawi.

Dalam sebuah dunia seperti ini, media dapat membantu kita untuk merasa lebih dekat satu sama lain, dengan menciptakan suatu makna persatuan dari keluarga manusiawi yang pada gilirannya dapat mengilhami solidaritas dan upaya-upaya serius untuk menjamin suatu hidup yang lebih bermartabat bagi semua orang. Komunikasi yang baik membantu kita tumbuh lebih dekat, saling mengenal lebih baik, dan akhirnya, berkembang dalam persatuan. Tembok-tembok yang memisahkan kita, hanya dapat diruntuhkan jika kita bersedia untuk mendengarkan dan belajar satu sama lain. Kita perlu menyelesaikan perbedaan-perbedaan melalui bentuk-bentuk dialog yang membantu kita berkembang dalam sikap saling memahami dan menghargai . Suatu budaya perjumpaan menuntut bahwa kita tidak saja siap sedia untuk memberi, tetapi juga menerima. Media dapat sangat membantu kita dalam hal ini, terutama dewasa ini, sewaktu jejaring komunikasi manusiawi mengalami kemajuan yang tak terkirakan. Internet khususnya mempersembahkan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas bagi perjumpaan dan solidaritas. Ini adalah sesuatu yang sejatinya baik, suatu pemberian dari Allah.

Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa persoalan-persoalan tertentu tidak ada. Kecepatan penyampaian informasi melampaui kemampuan kita untuk berefleksi dan menilai, dan hal ini tidak membuat bentuk-bentuk yang tepat dan lebih seimbang untuk mengungkapkan diri. Keragaman pendapat yang tertayangkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang membantu, tetapi juga membuka kemungkinan bagi orang untuk membentengi dirinya sendiri di balik sumber-sumber informasi yang hanya memperkuat keinginan-keinginan dan cita-cita, atau kepentingan politik dan ekonomi sendiri. Dunia komunikasi dapat membantu kita entah memperluas pengetahuan kita atau menjadikan kita tersesat. Keinginan akan keterhubungan digital dapat membawa dampak yang mengasingkan kita dari sesama kita, dari mereka yang paling dekat dengan kita. Kita tidak seharusnya menyepelekan kenyataan bahwa mereka yang atas alasan apapun kehilangan akses pada media sosial, berada dalam bahaya tertinggal.
Biarpun kelemahan-kelemahan ini memang nyata, mereka tidak membenarkan untuk menolak media sosial; sebaliknya, mereka mengingatkan kita bahwa komunikasi pada akhirnya berwatak manusiawi lebih daripada pencapaian teknologis. Jadi, apa yang membantu kita dalam lingkungan digital untuk berkembang dalam kemanusiaan dan sikap saling memahami? Kita perlu misalnya untuk menemukan kembali suatu makna tertentu dari kebebasan dan ketenangan. Hal ini meminta waktu dan tenaga untuk berdiam diri dan mendengarkan. Kita juga perlu bersabar jika kita ingin memahami mereka yang berbeda dengan kita. Orang hanya mengungkapkan diri sepenuhnya sewaktu mereka tidak hanya menemukan tenggang rasa, tetapi tahu bahwa mereka benar-benar diterima. Jika kita benar-benar peka mendengarkan orang lain, kita akan belajar untuk memandang dunia dengan mata berbeda dan siap menghargai kekayaan pengalaman manusiawi, sebagaimana terungkap dalam budaya-budaya dan tradisi-tradisi yang berbeda. Kita juga akan belajar untuk menghargai lebih penuh nilai-nilai utama yang diilhami oleh Kristianitas, seperti pandangan tentang pribadi manusia, kodrat perkawinan dan keluarga, pembedaan yang benar antara lingkup agamawi dan politik, prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas, dan banyak lagi hal lain.

Bagaimana komunikasi dapat hadir demi suatu budaya sejati dari perjumpaan? Apa artinya bagi kita, sebagai murid-murid Tuhan, berjumpa dengan orang lain dalam terang Injil? Meskipun keterbatasan-keterbatasan dan kedosaan kita, bagaimana kita sesungguhnya menjadi dekat satu sama lain? Pertanyaan-pertanyaan ini tersimpulkan dalam apa yang seorang ahli kitab – seorang komunikator - pernah mempertanyakan kepada Yesus: “Dan siapakah sesama-ku?” (Lk 10:29). Pertanyaan ini dapat membantu kita untuk melihat komunikasi dalam istilah “kesesamaan”. Mungkin kita dapat mengkalimatkannya sebagai berikut: Bagaimana kita dapat menjadi “sesama” dalam penggunaan media komunikasi dan dalam lingkungan baru yang diciptakan oleh teknologi digital? Saya menemukan suatu jawaban dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik, yang juga merupakan sebuah perumpamaan tentang komunikasi. Orang-orang yang mengadakan komunikasi, nyatanya, menjadi sesama. Orang Samaria yang baik tidak hanya lebih mendekatkan orang yang ia temukan setengah mati di pinggir jalan; dia mengambil tanggungjawab baginya. Yesus mengalihkan pemahaman kita: itu bukan saja perihal memandang orang lain sebagai seseorang seperti diri saya sendiri, tetapi kemampuan untuk membuat diri saya seperti orang lain. Komunikasi sesungguhnya menyangkut kesadaran bahwa kita sekalian adalah makhluk manusiawi, anak-anak Allah. Saya ingin memandang kemampuan komunikasi sebagai “kesesamaan”.

Manakalah komunikasi pertama-tama bertujuan untuk memajukan konsumsi atau memanipulasi orang-orang lain, kita berhadapan dengan suatu bentuk penyerangan yang kejam seperti apa yang diderita oleh orang dalam perumpamaan itu, yang dipukuli oleh perampok dan ditinggalkan di jalan. Orang Levi dan imam tidak memandang dia sebagai seorang sesama, tetapi sebagai seorang asing yang tidak boleh dijamah. Dalam masa itu, peraturan dari kemurnian ritual yang mengkondisikan jawaban mereka. Dewasa ini terdapat seorang asing yang media tertentu mengkondisikan jawaban-jawaban kita, sehingga kita gagal memandang sesama kita yang sebenarnya.

Tidaklah cukup untuk lalu lalang dalam jalan bebas hambatan digital, asalkan “terhubungkan”; keterhubungan perlu berkembang menjadi rekan-rekan perjumpaan yang sejati. Kita tidak dapat hidup terpisah, tertutup dalam diri kita sendiri. Kita perlu mencintai dan dicintai. Kita perlu kelembutan. Strategi-strategi media tidak menjamin kecantikan, kebaikan dan kebenaran dalam komunikasi. Dunia media juga harus peduli akan kemanusiaan; media juga dipanggil untuk menunjukkan kelembutan. Dunia digital dapat menjadi suatu lingkungan yang kaya dalam kemanusiaan; suatu jejaring bukanlah untaian kabel-kabel, tetapi hubungan orang-orang. Ketidak-berpihakan media hanyalah suatu penampilan; hanya orang-orang yang keluar dari dirinya sendiri dalam komunikasi dapat menjadi titik rujukan yang benar bagi orang-orang lain. Keterlibatan pribadi adalah dasar dari kepercayaan dari seorang komunikator. Kesaksian Kristiani, terima kasih atas internet, olehnya dapat mencapai kawasan pinggiran dari keberadaan manusiawi.

Sebagaimana saya sering mengamati, jika suatu pilihan harus dilakukan antara sebuah gereja memar yang pergi keluar ke jalan-jalan dan sebuah gereja yang menderita karena kepuasan diri, maka pasti saya lebih menyukai yang pertama. “Jalan-jalan” itu adalah dunia di mana orang-orang hidup dan di mana mereka dapat dijumpai, baik secara efektif maupun secara afektif. Jalan bebas hambatan digital adalah salah satunya, sebuah jalan yang digandrungi oleh orang-orang yang sering terlukai, laki-laki dan perempuan, yang mencari keselamatan atau pengharapan. Dengan sarana internet, pesan Kristiani dapat menjangkau “sampai ke ujung bumi”(Kis 1:8). Dengan menjaga pintu-pintu gereja-gereja terbuka juga berarti menjaganya terbuka dalam lingkungan digital, sehingga orang-orang, apapun keadaan hidupnya, dapat masuk, dan demikian Injil dapat pergi menjumpai setiap orang. Kita dipanggil untuk menunjukkan bahwa Gereja adalah rumah semua orang. Apakah kita mampu menayangkan gambaran dari sebuah Gereja demikian? Komunikasi adalah suatu sarana untuk mengungkapkan panggilan misioner dari seluruh Gereja; dewasa ini jejaring sosial adalah salah satu jalan untuk mengalami panggilan ini guna menemukan kembali keindahan dari iman, kecantikan perjumpaan dengan Kristus. Dalam lingkup komunikasi juga, kita perlu sebuah Gereja yang mampu membawa kehangatan dan menggerakkan hati.

Kesaksian Kristiani yang efektif bukanlah tentang mencekoki orang-orang dengan pesan-pesan agamawi, tetapi tentang kerelaan kita untuk siap sedia bagi orang-orang lain “dengan menanggapi secara sabar dan penuh hormat pertanyaan-pertanyaan dan keragu-raguan yang mereka ajukan guna mencari kebenaran dan makna keberadaan manusiawi” (Benediktus XVI, Pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-47, 2013). Kita cukup mengingat kembali kisah murid-murid dalam perjalanan ke Emmaus. Kita harus mampu berdialog dengan laki-laki dan perempuan semasa, untuk memahami kecemasan, keraguan dan pengharapan mereka, dan memperkenalkan Injil, Yesus Kristus sendiri, Allah yang menjelma, yang wafat dan bangkit untuk membebaskan kita dari dosa dan kematian. Kita ditantang untuk menjadi orang-orang berkerohanian, peka terhadap apa yang terjadi sekitar kita dan siap sedia secara rohaniah. Berdialog berarti percaya bahwa “orang lain” mempunyai sesuatu yang pantas disampaikan, dan menyenangi pandangan dan perspektifnya. Dengan melibatkan dalam dialog tidak berarti mengesampingkan ide-ide dan tradisi-tradisi kita sendiri, tetapi menampik pendakuan bahwa hanya milik kita yang sah atau mutlak. Semoga gambaran Orang Samaria yang baik yang peduli akan luka-luka dari orang itu dengan menuangkan minyak dan anggur atasnya menjadi inspirasi kita. Biarlah komunikasi kita menjadi sebuah balsam yang meringankan rasa sakit dan anggur enak yang meriangkan hati. Semoga terang yang kita bawa kepada orang-orang lain tidak merupakan buah hasil kosmetik atau akibat-akibat khusus, tetapi “kasih dan belaskasih “bersesama” kita akan mereka yang terluka dan ditinggalkan di tepi jalan. Biarlah kita dengan berani menjadi warga dari dunia digital. Gereja perlu menjadi peduli dan hadir dalam dunia komunikasi, agar berdialog dengan orang-orang semasa dan membantu mereka berjumpa dengan Kristus. Dia perlu menjadi sebuah Gereja yang berpihak pada orang-orang lain, mampu menemani siapa saja sepanjang jalan. Revolusi yang terjadi dalam media komunikasi dan dalam teknologi informasi menghadirkan suatu tantangan yang besar dan mendebarkan hati; semoga kita menanggapi tantangan itu dengan tenaga dan imaginasi yang segar, sewaktu kita berupaya untuk berbagi kecantikan Allah bersama orang-orang lain.

Vatikan, 24 januari 2014, Pesta St. Fransiskus dari Sales.

PAUS FRANSISKUS

Alihbahasa oleh Uskup P. Turang. 

2013 Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-47

http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/communications/documents/hf_ben-xvi_mes_20130124_47th-world-communications-day_en.html
Pesan  Bapa Suci untuk Hari Komsos Sedunia ke-47
12 Mei 2013

            Jejaring Sosial: Pintu  Kebenaran dan Iman, Ruang Baru untuk Evangelisasi

Menjelang Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun 2013 ,saya ingin menyampaikan beberapa permenungan mengenai suatu kenyataan  yang  semakin penting tentang cara  manusia sezaman berkomunikasi di antara mereka. Saya ingin mencermati perkembangan jejaring sosial digital yang membantu menciptakan "agora" baru, suatu alun-alun publik tempat manusia berbagi gagasan, informasi dan pendapat, dan yang dalamnya  relasi-relasi dan bentuk-bentuk komunitas baru dapat terwujud.

Ruang-ruang tersebut - bila dimanfaatkan secara  bijak dan berimbang- membantu memajukan berbagai bentuk dialog dan debat yang, bila dilakukan dengan penuh hormat dan memerhatikan privasi, bertanggungjawab dan jujur, dapat memperkuat ikatan kesatuan di antara individu-individu dan memajukan kerukunan keluarga manusiawi secara berdaya-guna. Pertukaran informasi dapat menjadi komunikasi yang benar, relasi-relasi dapat mematangkan pertemanan, koneksi-koneksi dapat mempermudah  persekutuan.  Bila jejaring sosial terpanggil untuk mewujudkan potensi besar ini, orang-orang yang  terlibat di dalamnya harus berupaya menjadi otentik , karena di dalam ruang itu,  orang tidak hanya berbagi gagasan dan informasi, tetapi pada akhirnya orang mengkomunikasikan dirinya sendiri.

Perkembangan jejaring sosial menuntut komitmen:  orang melibatkan diri di dalamnya untuk membangun relasi dan menjalin persahabatan, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan  mencari hiburan, tetapi juga dalam menemukan dorongan intelektual serta berbagi pengetahuan dan keterampilan. Jejaring sosial semakin menjadi bagian dari tatanan masyarakat sejauh menyatukan orang dengan berpijak pada kebutuhan dasar. Jejaring sosial dengan demikian terpelihara oleh aspirasi yang  tertanam dalam hati manusia.

Budaya jejaring sosial dan perubahan dalam sarana  dan gaya berkomunikasi membawa tantangan bagi mereka yang ingin berbicara tentang kebenaran dan nilai. Seringkali, sama halnya dengan sarana-sarana komunikasi sosial yang lain, makna dan efektifitas berbagai bentuk ekspresi nampaknya lebih ditentukan oleh popularitasnya ketimbang kepentingan hakiki dan nilainya. Pada gilirannya, popularitas seringkali lebih melekat pada ketenaran ataupun strategi persuasi  daripada  logika argumentasi. Kadangkala suara lembut dari pikiran dikalahkan oleh membludaknya informasi yang berlebihan dan gagal menarik perhatian pada apa yang disampaikan kepada orang yang mengungkapkan diri secara lebih persuasif. Dengan demikian, media sosial membutuhkan  komitmen dari semua orang yang menyadari nilai dialog, debat rasional dan argumentasi logis dari orang-orang yang berusaha keras membudidayakan bentuk-bentuk wacana dan pengungkapan  yang menggerakkan aspirasi luhur dari orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Dialog dan debat dapat juga berkembang dan bertumbuh ketika kita berbicara  dengan dan sungguh-sungguh  menghargai orang-orang yang gagasan-gagasannya berbeda dengan  kita. "Mengingat kenyataan keragaman budaya, perlulah memastikan bahwa  manusia  bukan saja mengakui keberadaan budaya orang lain tetapi juga bercita-cita diperkaya olehnya dan menghargai segala yang baik, benar dan indah"( Pidato pada Pertemuan dengan Dunia Budaya, Belem, Lisabon, 12 Mei 2010).

Tantangan yang dihadapi oleh jejaring sosial adalah bagaimana benar-benar menjadi inklusif: dengan demikian mereka memperoleh manfaat dari peran serta  penuh dari orang-orang beriman yang ingin berbagi amanat Yesus dan nilai martabat manusia yang dikemukakan melalui pengajaran-Nya. Kaum beriman semakin menyadari bahwa  kalau Kabar Baik tidak diperkenalkan juga di dalam dunia digital, ia akan hilang dalam pengalaman banyak orang yang menganggap ruang eksistensial ini penting. Lingkungan digital bukanlah sebuah dunia paralel  atau murni virtual, tetapi merupakan bagian dari pengalaman keseharian banyak orang teristimewa kaum muda. Jejaring sosial adalah hasil  interaksi manusia akan tetapi pada gilirannya, ia memberikan bentuk baru terhadap dinamika komunikasi yang membangun relasi: oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang lingkungan ini merupakan prasyarat untuk suatu kehadiran yang bermakna.

Kemampuan untuk menggunakan bahasa baru dituntut,  bukan terutama untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup sezaman, tetapi justru untuk memampukan kekayaan tak terbatas dari Injil menemukan bentuk-bentuk pengungkapan yang mampu menjangkau pikiran dan hati semua orang.  Di dalam lingkungan digital, perkataan tertulis sering disertai dengan gambar dan suara. Komunikasi yang efektif seperti yang terungkap dalam perumpamaan Yesus memerlukan pelibatan imaginasi dan kepekaan emosional  mereka yang ingin kita ajak untuk berjumpa dengan misteri kasih Allah.  Disamping itu kita mengetahui bahwa tradisi Kristiani selalu kaya akan tanda dan simbol: Saya berpikir, misalnya, salib, ikon, Patung Perawan Maria, kandang natal, jendela kaca berwarna-warni dan lukisan-lukisan di dalam gereja kita. Suatu bagian bernilai dari khazanah artistik umat manusia telah diciptakan oleh para seniman  dan musisi yang berupaya untuk mengungkapkan kebenaran iman.

Dalam jejaring sosial,  orang beriman menunjukkan kesejatiannya dengan berbagi sumber terdalam dari harapan dan kegembiraan mereka: iman kepada Allah pengasih dan penyayang yang terungkap dalam Kristus Yesus.  Wujud berbagi ini tidak hanya terdiri dari ungkapan iman yang eksplisit, tetapi juga dalam kesaksian mereka, dalam cara  mereka mengkomnikasikan "pilihan, preferensi, penilaian yang sungguh sesuai dengan Injil, bahkan bila tidak disampaikan secara ekspisit" (Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia 2011). Suatu cara yang secara khusus bermakna dengan memberikan kesaksian  serupa terjadi melalui kerelaan untuk mengorbankan diri kepada orang lain seraya menanggapi pertanyaan dan keraguan  mereka dengan sabar dan penuh hormat tatkala mereka mencari  kebenaran dan makna eksistensi manusia. Dialog yang berkembang dalam jejaring sosial tentang iman dan kepercayaan menegaskan penting dan relevannya agama di dalam debat publik dan dalam kehidupan masyarakat. Bagi mereka yang telah menerima  karunia iman dengan hati yang terbuka, jawaban yang paling radikal akan pertanyaan manusia tentang kasih, kebenaran dan makna hidup- pertanyaan - pertanyan serupa yang tentu tidak absen dari jejaring sosial - ditemukan dalam pribadi Yesus Kristus. Wajar  bahwa mereka yang memiliki iman  ingin berbagi dengan orang yang mereka jumpai dalam forum digital dengan rasa hormat dan bijaksana. Namun pada akhirnya, jika upaya kita untuk berbagi Injil menghasilkan buah yang baik,  hal itu selalu dikarenakan oleh kekuatan sabda Allah itu sendiri yang menyentuh hati banyak orang mendahului segala usaha dari pihak kita. Percaya pada kekuatan karya Allah harus selalu lebih besar daripada kerpecayaan apa saja yang kita letakan pada  sarana-sarana manusia.  Dalam ruang lingkup digital, juga, dimana suara yang tajam dan memecahbelah dibesar-besarkan  dan  dimana sensasionalisme menang,  kita diundang untuk berlaku arif, penuh kehati-hatian. Dalam hal ini hendaklah kita ingat bahwa Eliyah mengenal suara Allah tidak dalam angin yang besar dan kuat, tidak melalui gempa bumi dan api tetapi dalam hembusan angin  sepoi-sepoi" (1 Raj 19:11-12). Kita perlu percaya bahwa  kerinduan mendasar manusia untuk mengasihi dan dikasihi  dan untuk menemukan makna dan kebenaran -sebuah kerinduan yang Allah sendiri tanamkan dalam hati setiap laki-laki dan perempuan-  menetap di zaman kita ini,   selalu dan setidak-tidaknya terbuka kepada apa yang Beato Kardinal Newmann sebut ‘ cahaya ramah' dari iman.

Jejaring sosial, dengan menjadi sarana  Evangelisasi dapat juga menjadi faktor dalam pembangunan manusia. Sebagai contoh, dalam konteks geografis dan budaya dimana orang Kristiani merasa terisolasi,  jejaring sosial dapat memperkuat  rasa kesatuan nyata dengan komunitas kaum beriman di seluruh dunia. Jejaring sosial mempermudah orang berbagi sumber-sumber rohani dan liturgi, menolong orang untuk berdoa dengan perasaan kedekatan  bersama mereka yang mengaku iman yang sama. Suatu keterlibatan yang sejati dan interaktif dengan pertanyaan dan keraguan dari mereka yang berada  jauh dari iman seharusnya membuat kita merasa perlu untuk memelihara iman kita  melalui doa dan permenungan, iman akan Allah serta amal kasih kita: " Walaupun saya berbicara dengan bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi apabila aku tidak mempunyai kasih, aku adalah gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing". (1 Kor 13:1)

Di dalam dunia digital terdapat jejaring-jejaring sosial yang memberikan peluang-peluang sezaman untuk berdoa, meditasi, dan berbagi firman Allah. Akan tetapi jejaring sosial itu dapat juga membuka pintu terhadap dimensi lain dari iman. Banyak orang benar-benar menemukan, tepatnya berkat kontak awalnya di internet, pentingnya pertemuan langsung, pengalaman komunitas-komunitas dan  bahkan peziarahan, unsur-unsur yang  senantiasa penting dalam perjalanan iman. Dalam upaya untuk membuat Injil hadir dalam dunia digital, kita dapat mengundang orang untuk datang bersama-sama untuk berdoa dan perayaan liturgi di tempat-tempat tertentu seperti gereja dan kapel. Seharusnya tidak  kekurang kobersamaan atau kesatuan dalam pengungkapan iman kita dan dalam memberikan kesaksian tentang Injil di dalam realitas apa saja dimana kita hidup entah itu fisik atau digital. Kita  kita berada bersama orang lain, selalu dan dengan cara apapun, kita dipanggil untuk memperkenalkan kasih Allah hingga ujung  bumi.

Saya berdoa agar Roh Allah mendampingi dan senantiasa menerangi kamu, dan dengan seggenap hati saya memberkati kamu sekalian, agar kamu benar-benar mampu menjadi bentara-bentara  dan saksi-saksi Injil." Pergilah ke seluruh dunia, beritakan Injil kepada segala mahkluk" (Mrk 16:15)

Vatikan, 24 Januari 2013
Pesta Santo Frasiskus de Sales
BENEDICTUS XVI

2012 - 46th WORLD COMMUNICATIONS DAY


MESSAGE OF HIS HOLINESS
POPE BENEDICT XVI
FOR THE 46th WORLD COMMUNICATIONS DAY

Silence and Word: Path of Evangelization
[Sunday, 20 May 2012]

Dear Brothers and Sisters,
As we draw near to World Communications Day 2012, I would like to share with you some reflections concerning an aspect of the human process of communication which, despite its importance, is often overlooked and which, at the present time, it would seem especially necessary to recall. It concerns the relationship between silence and word: two aspects of communication which need to be kept in balance, to alternate and to be integrated with one another if authentic dialogue and deep closeness between people are to be achieved. When word and silence become mutually exclusive, communication breaks down, either because it gives rise to confusion or because, on the contrary, it creates an atmosphere of coldness; when they complement one another, however, communication acquires value and meaning.
Silence is an integral element of communication; in its absence, words rich in content cannot exist. In silence, we are better able to listen to and understand ourselves; ideas come to birth and acquire depth; we understand with greater clarity what it is we want to say and what we expect from others; and we choose how to express ourselves. By remaining silent we allow the other person to speak, to express him or herself; and we avoid being tied simply to our own words and ideas without them being adequately tested. In this way, space is created for mutual listening, and deeper human relationships become possible. It is often in silence, for example, that we observe the most authentic communication taking place between people who are in love: gestures, facial expressions and body language are signs by which they reveal themselves to each other. Joy, anxiety, and suffering can all be communicated in silence – indeed it provides them with a particularly powerful mode of expression. Silence, then, gives rise to even more active communication, requiring sensitivity and a capacity to listen that often makes manifest the true measure and nature of the relationships involved. When messages and information are plentiful, silence becomes essential if we are to distinguish what is important from what is insignificant or secondary. Deeper reflection helps us to discover the links between events that at first sight seem unconnected, to make evaluations, to analyze messages; this makes it possible to share thoughtful and relevant opinions, giving rise to an authentic body of shared knowledge. For this to happen, it is necessary to develop an appropriate environment, a kind of ‘eco-system’ that maintains a just equilibrium between silence, words, images and sounds.
The process of communication nowadays is largely fuelled by questions in search of answers. Search engines and social networks have become the starting point of communication for many people who are seeking advice, ideas, information and answers. In our time, the internet is becoming ever more a forum for questions and answers – indeed, people today are frequently bombarded with answers to questions they have never asked and to needs of which they were unaware. If we are to recognize and focus upon the truly important questions, then silence is a precious commodity that enables us to exercise proper discernment in the face of the surcharge of stimuli and data that we receive. Amid the complexity and diversity of the world of communications, however, many people find themselves confronted with the ultimate questions of human existence: Who am I? What can I know? What ought I to do? What may I hope? It is important to affirm those who ask these questions, and to open up the possibility of a profound dialogue, by means of words and interchange, but also through the call to silent reflection, something that is often more eloquent than a hasty answer and permits seekers to reach into the depths of their being and open themselves to the path towards knowledge that God has inscribed in human hearts.
Ultimately, this constant flow of questions demonstrates the restlessness of human beings, ceaselessly searching for truths, of greater or lesser import, that can offer meaning and hope to their lives. Men and women cannot rest content with a superficial and unquestioning exchange of skeptical opinions and experiences of life – all of us are in search of truth and we share this profound yearning today more than ever: “When people exchange information, they are already sharing themselves, their view of the world, their hopes, their ideals” (Message for the 2011 World Day of Communications).
Attention should be paid to the various types of websites, applications and social networks which can help people today to find time for reflection and authentic questioning, as well as making space for silence and occasions for prayer, meditation or sharing of the word of God. In concise phrases, often no longer than a verse from the Bible, profound thoughts can be communicated, as long as those taking part in the conversation do not neglect to cultivate their own inner lives. It is hardly surprising that different religious traditions consider solitude and silence as privileged states which help people to rediscover themselves and that Truth which gives meaning to all things. The God of biblical revelation speaks also without words: “As the Cross of Christ demonstrates, God also speaks by his silence. The silence of God, the experience of the distance of the almighty Father, is a decisive stage in the earthly journey of the Son of God, the incarnate Word …. God’s silence prolongs his earlier words. In these moments of darkness, he speaks through the mystery of his silence” (Verbum Domini, 21). The eloquence of God’s love, lived to the point of the supreme gift, speaks in the silence of the Cross. After Christ’s death there is a great silence over the earth, and on Holy Saturday, when “the King sleeps and God slept in the flesh and raised up those who were sleeping from the ages” (cf. Office of Readings, Holy Saturday)God’s voice resounds, filled with love for humanity.
If God speaks to us even in silence, we in turn discover in silence the possibility of speaking with God and about God. “We need that silence which becomes contemplation, which introduces us into God’s silence and brings us to the point where the Word, the redeeming Word, is born” (Homily,Eucharistic Celebration with Members of the International Theological Commission6 October 2006). In speaking of God’s grandeur, our language will always prove inadequate and must make space for silent contemplation. Out of such contemplation springs forth, with all its inner power, the urgent sense of mission, the compelling obligation to communicate that which we have seen and heard” so that all may be in communion with God (1 Jn 1:3). Silent contemplation immerses us in the source of that Love who directs us towards our neighbours so that we may feel their suffering and offer them the light of Christ, his message of life and his saving gift of the fullness of love.
In silent contemplation, then, the eternal Word, through whom the world was created, becomes ever more powerfully present and we become aware of the plan of salvation that God is accomplishing throughout our history by word and deed. As the Second Vatican Council reminds us, divine revelation is fulfilled by “deeds and words having an inner unity: the deeds wrought by God in the history of salvation manifest and confirm the teaching and realities signified by the words, while the words proclaim the deeds and clarify the mystery contained in them” (Dei Verbum, 2).This plan of salvation culminates in the person of Jesus of Nazareth, the mediator and the fullness of all revelation. He has made known to us the true face of God the Father and by his Cross and Resurrection has brought us from the slavery of sin and death to the freedom of the children of God. The fundamental question of the meaning of human existence finds in the mystery of Christ an answer capable of bringing peace to the restless human heart. The Church’s mission springs from this mystery; and it is this mystery which impels Christians to become heralds of hope and salvation, witnesses of that love which promotes human dignity and builds justice and peace.
Word and silence: learning to communicate is learning to listen and contemplate as well as speak. This is especially important for those engaged in the task of evangelization: both silence and word are essential elements, integral to the Church’s work of communication for the sake of a renewed proclamation of Christ in today’s world. To Mary, whose silence “listens to the Word and causes it to blossom” (Private Prayer at the Holy HouseLoreto, 1 September 2007), I entrust all the work of evangelization which the Church undertakes through the means of social communication.
From the Vatican, 24 January 2012, Feast of Saint Francis de Sales.

BENEDICTUS XVI

© Copyright 2012 - Libreria Editrice Vaticana

WORLD COMMUNICATIONS DAY MESSAGES

SIGNIS - World Catholic Association for Communication

NEWS UPDATE ~ DIOCESE OF SANDAKAN

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...