2018 ~ PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE - 52

24 Januari 2018

http://www.mirifica.net/2018/02/19/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-komunikasi-ke-52-2018/

“Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32)
Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian
Saudara dan Saudari yang terkasih,

KOMUNIKASI adalah bagian dari rencana Allah bagi kita dan jalan utama untuk menjalin persahabatan. Sebagai manusia kita diciptakan seturut gambar dan rupa Sang Pencipta, dan karenanya kita bisa mengungkapkan dan membagi hal-hal yang benar, baik dan indah. Kita mampu melukiskan pengalaman-pengalaman kita sendiri serta tentang dunia sekitar kita, dengan demikian menciptakan kenangan sejarah serta pengertian tentang pelbagai peristiwa. Namun apabila kita begitu saja menuruti hasrat pribadi serta kebanggaan pada diri, maka kita dapat merusak cara kita memanfaatkan kemampuan berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat sejak awal sejarah, dalam dua kisah alkitabiah tentang Kain dan Habel serta Menara Babel (bdk. Kej 4:4-16; 11:1-9). Kemampuan untuk memelintir kebenaran merupakan fenomena yang melekat pada kemanusiaan kita, baik pribadi maupun masyarakat. Sebaliknya, manakala kita setia pada rencana Allah, maka komunikasi akan menjadi sarana efektif bagi pencarian kebenaran dan kebaikan secara bertanggungjawab.

Saat ini, dalam dunia komunikasi serta sistem digital yang sedemikian cepat berubah, kita menyaksikan penyebaran dari apa yang dikenal sebagai “berita bohong” (fake news). Kenyataan ini mengundang kita berefleksi, dan itulah sebabnya saya memutuskan untuk kembali mengangkat pokok tentang kebenaran dari Pesan Hari Komunikasi Sedunia para pendahulu saya, sejak Paus Paulus VI. Pada tahun 1972 Paus Paulus VI mengkat tema: Komunikasi Sosial demi Pelayanan Kebenaran. Maksud saya adalah memberikan dukungan pada komitmen kita bersama untuk membendung penyebaran berita bohong, serta mengangkat keluhuran martabat jurnalisme dan tanggungjawab pribadi para jurnalis untuk menyampaikan kebenaran.

1. Apa yang “palsu” tentang Berita Palsu?

Wacana “berita palsu” telah menjadi objek diskusi dan debat yang sengit. Umumnya berita palsu mengacu pada penyebaran informasi sesat secara daring (online) atau melalui media tradisional. Berita palsu terkait dengan informasi palsu tanpa berdasarkan data atau memutar balik data dengan tujuan menipu dan mencurangi baik pembaca maupun pemirsa atau pendengar. Penyebaran berita palsu dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, memengaruhi keputusan-keputusan politik, dan melayani kepentingan-kepentingan ekonomi.

Berita palsu itu bisa efektif, terutama karena mampu mengelabui seolah-oleh berita yang benar dan masuk akal. Kedua, berita palsu, namun meyakinkan ini, amat cerdik serta mampu menarik perhatian, dengan memunculkan hal-hal stereotipe dan apa yang menjadi objek keingintahuan umum, serta mengeksploitasi emosi-emosi sesaat seperti kecemasan, rasa terhina, kemarahan dan frustrasi. Kemampuan untuk menyebarkan berita palsu semacam itu sering kali ditopang oleh kemampuan memanfaatkan, dengan manipulasi, pelbagai jejaring sosial dan cara kerjanya. Cerita-cerita yang tidak benar dapat menyebar begitu cepat, sehingga bantahan-bantahan dari pihak berwenang sekalipun gagal membendung dampak negatif yang ditimbulkannya.

Kesulitan untuk membuka kedok dan menyingkirkan berita palsu juga disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak orang berinteraksi dalam ruang lingkup digital yang seragam, yang “kedap” terhadap aneka sudut pandang dan pendapat yang berbeda, sehingga informasi sesat tumbuh subur di tengah tidak adanya informasi tandingan dari sumber-sumber lain yang dapat secara efektif menangkal prasangka dan melahirkan dialog konstruktif. Akibatnya, berita palsu itu menyeret orang menjadi kaki-tangan untuk meneruskan penyebaran gagasan tak berdasar dan bias. Tragedi dari informasi sesat ialah pendiskreditan pihak-pihak lain, menampilkan mereka sebagai musuh, dengan tujuan menjadikan mereka sasaran kebencian dan mengobarkan konflik. Berita bohong adalah wujud dari sikap intoleran dan hipersensitif, yang hanya akan mengarah kepada penyebaran arogansi dan kebencian. Itulah capaian akhir dari kebohongan.

2. Bagaimana Kita Dapat Mengenali Berita Palsu?

Kita semua tanpa kecuali bertanggungjawab menangkal berita palsu. Ini bukan tugas gampang, karena informasi sesat berakar pada retorika menyesatkan yang dengan sengaja dibuat sedemikian ringkas dan kadang-kadang memanfaatkan mekanisme psikologis yang mengelabui. Saat ini berbagai upaya yang patut dipuji sedang dilakukan untuk menciptakan program-program pendidikan yang bertujuan membantu orang menafsirkan dan menilai informasi yang disajikan media, dan mengajar mereka untuk secara aktif berperan membuka kedok kepalsuan, dan bukannya secara tidak sengaja malah giat menyebarkan informasi sesat. Kita patut menghargai aneka prakarsa kelembagaan dan hukum yang bertujuan mengembangkan regulasi untuk mengendalikan fenomena tersebut, demikian juga upaya yang sedang dilakukan pelbagai perusahaan teknologi dan media untuk menemukan kriteria pembuktian identitas pribadi yang tersembunyi di baik jutaan profil digital.

Namun upaya mencegah dan mengidentifikasi cara informasi sesat bekerja, juga memerlukan proses disermen mendalam dan seksama. Kita perlu membuka kedok dari apa yang dapat disebut “taktik ular” yang dipakai oleh mereka yang menyamarkan diri agar dapat menyerang pada setiap waktu dan tempat. Inilah strategi yang digunakan oleh “ular licik” dalam Kitab Kejadian, yang pada awal umat manusia, menciptakan berita bohong yang pertama. (bdk. Kej 3:1-15). Itulah awal sejarah tragis dosa manusia, dosa pembunuhan yang dilakukan kakak-beradik yang pertama (bdk. Kej 4) dan dari situ terus muncul kejahatan lain yang tak terhitung banyaknya, yang melawan Tuhan, sesama, masyarakat dan ciptaan. Strategi dari “bapa segala dusta” yang cerdik ini (Yoh 8:44) meniru bentuk rayuan licik dan jahat yang merasuk ke dalam hati dengan argumen-argumen palsu dan memikat.

Dalam kisah tentang dosa pertama, si penggoda mendekati si perempuan, dengan berpura-pura menjadi seorang sahabat yang peduli pada kesejahteraannya. Ia menyampaikan sesuatu yang hanya separuh benar: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej 3:1). Padahal yang benar adalah Tuhan tidak pernah melarang Adam makan buah dari semua pohon, tetapi hanya buah dari satu pohon saja: “Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya” (Kej 2:17). Perempuan itu membantah perkataan si ular, namun membiarkan dirinya terperangkap oleh hasutan si ular: “Tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej 3:2). Jawaban perempuan itu ditulis dengan istilah yang legalistik dan negatif; setelah mendengarkan si penggoda dan membiarkan dirinya terperdaya oleh fakta-fakta menurut versi si ular, perempuan itu pun terperdaya. Maka, ia menuruti apa yang dikatakan si penggoda dengan yakin: “Sekali-kali kamu tidak akan mati!” (Kej 3:4).

“Dekonstruksi” si penggoda kemudian tampil dalam bentuk kebenaran: “Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej 3:5). Perintah Allah sebagai Bapa, yang dimaksudkan untuk kebaikan mereka (manusia pertama), diputar-balikkan oleh bujuk rayu si musuh: “Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (Kej 3:6). Episode alkitabiah ini mejelaskan suatu unsur hakiki dari refleksi kita, yaitu tidak ada informasi sesat yang tidak berbahaya; sebaliknya, mempercayai kepalsuan dapat mendatangkan akibat-akibat yang sangat buruk. Bahkan suatu penyimpangan yang nampaknya kecil pun dapat menyebabkan akibat-akibat berbahaya.

Penyebab semua ini adalah keserakahan kita. Berita palsu sering kali menjadi viral, menyebar dengan sangat cepat sehingga sulit dihentikan, bukan karena dorongan untuk berbagi yang memang mengilhami media sosial, melainkan karena berita palsu itu merangsang keserakahan yang tak pernah terpuaskan, yang dapat muncul dengan begitu mudah dalam diri manusia. Tujuan ekonomis dan manipulatif yang memacu informasi sesat berakar pada kehausan akan kekuasaan, hasrat untuk memiliki dan menikmati, yang pada akhirnya menyebabkan korban penipuan yang lebih tragis, yakni tipu-daya si jahat yang bergerak dari satu kepalsuan ke kepalsuan lainnya untuk mencabut kita dari kebebasan batiniah kita. Itulah mengapa pendidikan tentang kebenaran berarti mengajar orang untuk melakukan disermen, mengevaluasi, dan memahami hasrat dan kecenderungan kita yang paling dalam, sebab jika tidak demikian maka kita akan kehilangan wawasan tentang apa yang baik dan menyerah pada setiap godaan.

3. “Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu” (Yoh 8:32)

Pencemaran terus-menerus oleh bahasa bohong dapat berakhir pada semakin gelapnya kehidupan batin kita. Pengamatan Dostoevsky menjelaskan hal itu: “Orang-orang yang menipu diri dan mempercayai tipuannya sendiri akan sampai pada suatu titik, di mana mereka tidak dapat lagi mengenal kebenaran di dalam diri mereka, atau di sekitar mereka, dan dengan demikian mereka kehilangan rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan terhadap orang lain. Dan ketika mereka tidak lagi memiliki rasa hormat pada diri mereka sendiri, mereka akan berhenti mencintai, dan kemudian untuk menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian dari diri mereka yang tanpa kasih, mereka mengumbar berbagai nafsu dan kenikmatan badani, serta tenggelam dalam ketamakan yang meyerupai binatang, dalam kebiasaan untuk terus menerus berbohong kepada sesama dan diri mereka sendiri”. (The Brothers Karamazov, II, 2).

Lalu, bagaimana kita dapat mempertahankan diri dari kebohongan? Penangkal paling jitu terhadap virus kepalsuan adalah pemurnian oleh kebenaran. Dalam Kekristenan, kebenaran bukan melulu suatu realitas konseptual yang berhubungan dengan bagaimana kita menilai segala sesuatu, menentukan sesuatu benar atau salah. Kebenaran itu tidak sekadar mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi, “menyingkap kenyataan”, sebagaimana kebenaran diartikan dalam istilah Yunani kuno yaitu aletheia (dari kata a-lethès, “tidak tersembunyi”). Kebenaran mencakup keseluruhan hidup kita. Dalam Alkitab, kebenaran mengandung makna dukungan, soliditas dan kepercayaan, seperti yang tersirat oleh akar kata ‘aman,’ asal-usul kata ‘amin’ dalam liturgi kita. Kebenaran adalah sesuatu ke mana anda dapat bersandar agar tidak jatuh. Dalam pengertian relasional ini, Dialah satu-satunya yang dapat sungguh-sungguh diandalkan dan dipercayai – Dia yang bisa kita andalkan – adalah Tuhan yang hidup. Oleh karena itu, Yesus dapat berkata: “Akulah kebenaran” (Yoh 14:6). Kita menemukan kembali kebenaran ketika kita mengalaminya di dalam diri kita sendiri, dalam kesetiaan dan kepercayaan kepada Dia yang mengasihi kita. Inilah satu-satunya yang dapat membebaskan kita: “Kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32).

Bebas dari kepalsuan dan mencari relasi, merupakan dua unsur yang tidak boleh hilang dari kata dan perbuatan kita, agar kata dan sikap kita benar, otentik dan dapat dipercaya. Untuk mengenal kebenaran, kita perlu mengenal segala sesuatu yang mendorong terbentuknya persekutuan dan yang memajukan kebaikan, serta membedakannya dari apa pun yang cenderung mengasingkan, memecah belah, dan menentang. Karena itu, kebenaran sesungguhnya tidak dapat dipahami, ketika kebenaran dipaksakan dari luar sebagai sesuatu yang impersonal. Kebenaran hanya dapat mengalir dari relasi bebas di antara orang-orang dan dari saling mendengarkan. Kita juga tidak akan pernah bisa berhenti mencari kebenaran, selama kepalsuan selalu bisa menyelinap masuk, bahkan ketika kita menyatakan hal-hal yang benar. Argumen yang tak dapat salah, sesungguhnya berlandas pada fakta-fakta yang tak terbantahkan, namun jika argumen itu digunakan untuk melukai orang lain dan untuk mendiskreditkan orang itu di hadapan orang lain, maka betapapun argumen itu kelihatannya benar, argumen tersebut sesungguhnya tidak mengungkap kebenaran. Kita bisa mengenal kebenaran setiap pernyataan dari buahnya: apakah pernyataan itu memicu pertengkaran, menimbulkan perpecahan, mendorong pengunduran diri; atau sebaliknya, pernyataan itu mengembangkan refleksi yang matang dan berlandas pada informasi benar yang mengarah kepada dialog konstruktif dengan hasil-hasil yang bermanfaat.

4. Perdamaian adalah Berita yang Sebenarnya

Penangkal terbaik melawan kebohongan bukan strategi, melainkan masyarakat: masyarakat yang tidak serakah tetapi bersedia mendengarkan, masyarakat yang berikhtiar melakukan dialog tulus agar kebenaran dapat tersingkap: masyarakat yang tertarik oleh kebaikan dan bertanggung jawab atas cara bagaimana memanfaatkan bahasa. Jika tanggung jawab adalah jawaban terhadap penyebaran berita bohong, maka tanggung jawab berat itu berada di pundak orang-orang yang tugasnya memberikan informasi, yaitu para wartawan, pengawal berita. Di dunia sekarang ini, tugas mereka adalah memberikan informasi bukan sekadar sebagai suatu pekerjaan. Tugas itu adalah sebuah misi, perutusan. Di tengah hiruk pikuk dan hingar-bingar kesibukan menyampaikan berita pertama serta tercepat, para jurnalis mesti ingat bahwa intisari informasi bukanlah kecepatan menyampaikan atau dampaknya pada para audiens, melainkan orang perorangan. Memberikan informasi kepada orang lain berarti membentuk mereka; itu berarti ada hubungannya dengan kehidupan orang lain. Itulah alasannya mengapa menjamin keakuratan sumber dan melindungi komunikasi adalah sarana riil untuk memajukan kebaikan, membangkitkan kepercayaan, dan membuka jalan menuju persekutuan dan perdamaian.

Maka, saya ingin mengajak semua orang untuk memajukan jurnalisme perdamaian. Jurnalisme perdamaian tidak dimaksudkan sebagai jurnalisme “pemanis rasa” yang menolak mengakui adanya masalah-masalah serius atau jurnalisme yang bernada sentimentalisme. Sebaliknya, jurnalisme perdamaian adalah suatu jurnalisme yang jujur ​​dan menentang kepalsuan, slogan-slogan retoris, dan pokok berita yang sensasional. Sebuah jurnalisme yang diciptakan oleh masyarakat untuk masyarakat, yang melayani semua orang, terutama mereka – dan mereka adalah mayoritas di tengah dunia kita – mereka yang tidak bersuara. Sebuah jurnalisme yang tidak terpusat pada breaking news (berita sela) tetapi menelisik sebab-sebab yang mendasari konflik, guna memajukan pemahaman yang lebih mendalam dan memberi sumbangan bagi jalan keluar dengan memulai suatu proses yang baik. Sebuah jurnalisme yang berkomitmen untuk menunjukkan beragam alternatif terhadap meningkatnya keributan dan kekerasan verbal.

Untuk mencapai tujuan ini, seraya menimba ilham dari untaian doa Fransiskan, kita sebagai pribadi mesti berpaling kepada Sang Kebenaran:

Tuhan, jadikanlah kami alat damai-Mu.
Bantulah kami mengenali kejahatan yang tersembunyi dalam suatu komunikasi yang tidak membangun persekutuan.
Bantulah kami untuk membuang racun dari berbagai penilaian kami.
Bantulah kami untuk berbicara tentang orang lain sebagai saudara dan saudari kami.
Dikaulah yang setia dan dapat diandalkan; semoga perkataan kami menjadi benih kebaikan bagi dunia:
di mana ada teriakan, biarkanlah kami berlatih mendengarkan;
di mana ada kebingungan, biarkanlah kami mengilhami keselarasan;
di mana ada ketidakjelasan, biarkanlah kami membawa kejelasan;
di mana ada pengucilan, biarkanlah kami memberi solidaritas;
di mana ada kegemparan, biarkanlah kami memakai ketenangan;
di mana ada kedangkalan, biarkanlah kami mengajukan persoalan-persoalan nyata;
di mana ada prasangka, biarkanlah kami membangkitkan kepercayaan;
di mana ada permusuhan, biarkanlah kami membawa rasa hormat;
di mana ada kepalsuan, biarkanlah kami membawa kebenaran.
Amin.

Sri Paus Fransiskus

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

WORLD COMMUNICATIONS DAY MESSAGES

SIGNIS - World Catholic Association for Communication

NEWS UPDATE ~ DIOCESE OF SANDAKAN

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...